Resident Evil 5 menjadi pilihan ane wat game favorite selanjutnya

| Selasa, 14 September 2010 | |
Resident Evil 5 Cover
Resident Evil 5 Cover
The Evil That Begins in 1996
Bila ditanya game apa yang melahirkan genre Survival Horror, kebanyakan gamer bakalan menjawab “Resident Evil”. Walaupun Alone in the Dark sebenarnya lebih dahulu lahir, tak bisa disangkal kalau game yang lahir dari tangan dingin Shinji Mikami inilah yang mengubah (dan melahirkan) genre Survival Horror. Resident Evil membuktikan pada kita bahwa game bisa menyeramkan. Siapa yang dulu tidak kaget ketika para anjing pertama kali menyerang masuk dari kaca jendela mansion coba?
Setelah melihat bagaimana larisnya Resident Evil, lahirlah sekuel demi sekuelnya. Resident Evil 2, 3, Code Veronica, belum lagi prekuelnya di Zero, sampai game bertipe First Person Shooting ala Gun Survivor dan co-op macam Outbreak. Resident Evil memang berubah menjadi franchise terlaris Capcom tapi setelah bertahun-tahun stagnan dengan gameplay itu-itu saja, para gamer mulai bosan. Grafis Resident Evil memang makin apik, ceritanya makin dalam (membingungkan?), dan arenanya pun bertambah luas dan tidak melulu di Racoon City, tetapi pada dasarnya gameplaynya tetap sama. Gamer ingin sesuatu yang berbeda, sesuatu yang baru, dan sesuatu yang lebih intense dan menyeramkan.
Capcom menjawab permintaan para gamer melalui Resident Evil 4 (RE 4). Game ini merombak total konsep dari Survival Horror yang diusung oleh prekuelnya. Musuh yang harus dihadapi gamer tidak melulu zombie tak berotak melainkan para manusia biasa yang diinfeksi oleh parasit sehingga menjadi beringas. Tentu saja para manusia beringas ini jauh lebih cerdas ketimbang para zombie. Mereka bisa bekerja sama dan memakai senjata untuk menghabisimu. Walau ada yang menanggapi secara negatif, secara keseluruhan RE4 menuai pujian para kritikus dan gamer, bahkan didaulat sebagai salah satu game terbaik tahun tersebut.
Ketika bocoran mengenai Resident Evil 5 (RE 5) muncul, publik kembali menahan nafas. Apa lagi kiranya yang akan menjadi inovasi baru Capcom kali ini?

Chris Redfield is Back
Dalam RE 5, gamer menjalankan karakter Chris Redfield. Chris Redfield adalah pahlawan pertama dalam Resident Evil. Ia termasuk seorang dari sedikit anggota STARS yang selamat dalam insiden di Umbrella Mansion juga salah satu dari orang pertama yang menyadari kebusukan perusahaan Umbrella. Setelah akhirnya berhasil melakukan reuni dengan adiknya di Code Veronica, Chris kembali berusaha memburu Albert Wesker, bosnya yang berkhianat, dan menghentikan Umbrella.
Setelah Umbrella ditutup, itu tidak berarti perjuangan Chris selesai. Sebaliknya, keadaan malah bertambah rumit. T-Virus milik Umbrella beredar ke pasar gelap dan jatuh ke tangan teroris untuk dijadikan uji coba. Salah satu ladang uji coba itu adalah di tanah Afrika, dan di sanalah Chris kembali bertualang.
Ketika trailer RE 5 pertama kali beredar, kontroversi konsep co-op dengan karakter Sheva Alomar muncul. Saya sendiri merasa biasa-biasa saja dengan konsep ini. Bukankah fitur co-op sudah berulang kali muncul dalam Resident Evil? Di Resident Evil 3, kamu beberapa kali bisa dibantu oleh Carlos berhadapan dengan Nemesis, dalam Resident Evil Zero Billy dan Rebecca praktis terus saling dukung untuk selamat, dan dalam Outbreak kamu malah bisa bermain online untuk menyelamatkan diri. Malahan saya khawatir kehadiran Sheva akan mengurangi nuansa seram game, dan hal itu benar-benar terbukti.
RE 5 tidak lagi menjadi game yang menyeramkan – melainkan berubah menjadi game action. (Sungguh!)
Sepanjang permainan kamu akan saling dukung dengan pasanganmu untuk mengungkap misteri penyebaran penyakit di Afrika. Selain itu Chris juga punya alasan personal mau mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Jill (bagi yang tidak tahu, Jill adalah pasangan Chris di Resident Evil pertama sekaligus tokoh utama di Resident Evil 3). Ada dua alasan kenapa sebuah game survival horror menakutkan. Pertama adalah kesendirianmu, dan kedua adalah kamu dipaksa untuk melarikan diri melawan musuh ketimbang melawan mereka. Dua alasan itu semuanya lenyap di RE 5. Kehadiran Sheva yang selalu mendampingimu praktis membuat alasan pertama dinihilkan sementara ammo yang melimpah malahan membuatmu memburu musuh ketimbang kabur dari mereka. Apalagi musuh bisa saja menjatuhkan uang yang bisa kamu gunakan untuk mengupgrade senjatamu. Sedikit banyak game ini malahan mengingatkan saya pada Dino Crisis 2.
Kalau boleh jujur, RE 5 tidak banyak melakukan inovasi. Bisa dibilang ia adalah RE 4 yang bersetting di Afrika, memiliki pasangan Sheva, dan hadir dengan grafis yang lebih mumpuni. While that’s not bad since Resident Evil 4 is a great game, it still is a bit of a letdown. Yang paling mengecewakan dari gameplaynya adalah bagaimana ia ‘memaksa’ kita untuk berdiri di tempat sambil membidik musuh. Capcom berdalih ini demi menambah intens permainan tetapi saya kok tidak percaya. Buktinya Dead Space memperbolehkan kita membidik sambil terus berjalan tanpa harus mengurangi suasana seramnya. Bicara soal seram dan seru, RE 5 juga terasa tanggung di tengah-tengah perbatasan kedua nuansa itu. Kalau seram jelas seram Dead Space, kalau seru ia juga kalah dengan Left 4 Dead (game FPS yang juga memiliki unsur co-op dan berhadapan dengan zombie).
Walau tidak luar biasa di aspek manapun, bukan berarti RE 5 game yang jelek, sebaliknya, ia sebenarnya bagus merata di segala aspek. Hanya saja, this is a jack-of-all-trades game.

Lost in Africa
Lantas bagaimana dengan translasi franchise Resident Evil di konsol masa kini? RE 5 memiliki tampilan yang benar-benar cantik. Beberapa pihak mungkin akan berusaha membandingkannya dengan setting Farcry 2 yang sama-sama di Afrika. Menurut saya keduanya tidak bisa dibandingkan. Afrikanya RE 5 lebih bernuansa fantasi bercampur nyata sementara Afrikanya Farcry 2 lebih berat pada nuansa nyata. Salah satu stage yang paling memorable kumainkan adalah setting dalam gua pertambangan Afrika di mana suasana gelap dan orang-orang Afrika yang (maaf) juga berkulit gelap bisa tahu-tahu saja nongol untuk menyergapmu. Itu satu dari sedikit bagian dalam RE 5 yang masih berhasil mempertahankan nuansa seram di dalamnya.
Untuk audionya, saya rasa pengisi suara dari tiap karakter mampu menjalankan tugasnya dengan baik – kecuali untuk karakter Sheva. Saya mungkin sedikit terlalu memilih tetapi suara Sheila sebagai seorang lokal Afrika kurang terdengar aksen Inggris-Afrikanya. Musik backgroundnya yang mendadak menjadi tegang apabila kamu berhadapan dengan musuh malahan saya nilai kurang efektif. Kalau musiknya terus memperingati kita kalau ada musuh yang belum kita habisi / tengah bersembunyi lantas ke mana unsur kejutan dalam gameplaynya?
Sekali lagi kalau review saya seakan bernada negatif, bukan berarti saya tidak suka dengan RE 5. Sebaliknya saya sangat menikmati game ini. Kendati RE 5 tidak lagi seperti para pendahulunya, ia tetap sebuah game aksi yang solid dan menegangkan dari awal hingga akhir.